Berapa banyak waktu yang Anda habiskan untuk bekerja? Jika Anda rata-rata bekerja 8 jam sehari, itu berarti Anda telah menggunakan sepertiga dari seluruh waktu Anda setiap hari. Jika Anda tidur selama 8 jam, berarti pekerjaan telah menyita separuh dari waktu yang Anda miliki selama terjaga. Dan, jika Anda juga menghitung waktu yang diperlukan untuk berangkat dan pulang kerja, maka Anda perlu menambahkan satu jam/lebih setiap harinya dalam perhitungan waktu Anda. Lalu, bagaimana dengan waktu persiapan dan waktu istirahat sesudah bekerja? Hal itu memperbesar porsi waktu yang Anda pakai untuk bekerja, bukan? Porsi itu bertambah besar lagi bila kita memasukkan waktu untuk memikirkan pekerjaan dalam perhitungan waktu kita. Jika Anda seorang ibu rumah tangga atau orangtua tunggal, akan tampak seolah-olah seluruh hari-hari Anda habis untuk pekerjaan.
Ketika semua itu ditambahkan dalam perhitungan waktu, banyak di antara kita yang menganggap pekerjaan adalah hidup kita -- minimal jika dilihat dari waktu dan perhatian yang tercurah untuk pekerjaan itu.
Apakah hal itu buruk? Jawaban untuk ini tergantung pada kebutuhan dan sikap kita terhadap pekerjaan itu sendiri. Sekalipun jumlah jam kerja mencerminkan baik-buruknya sikap kita terhadap pekerjaan, masalah yang sebenarnya tidak terletak pada jam kerja, tetapi motivasi yang melatarbelakangi segala tindakan kita dan orang macam apa sebenarnya kita dalam bekerja.
  Kapan suatu pekerjaan keluar dari porsi yang sebenarnya?
  
  Ketika kita memandang pekerjaan sebagai sumber kepuasan utama dan
  mengabaikan segala perhatian terhadap aspek lain dalam hidup --
  menempatkan kehidupan pribadi, keluarga, teman-teman, gereja, dan
  masyarakat dalam prioritas terakhir -- dan membiarkan pekerjaan
  menjadi allah kita.
Penulis kitab Pengkhotbah tahu bagaimana sia-sianya pola hidup seperti itu. Ia berkata, "Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari" (2:11). Mencoba mendapat kepuasan pribadi dalam bekerja adalah seperti mengejar bayangan belaka. Sekali Anda berhasil mencapai sasaran, Anda akan menyadari bahwa harapan akan rasa puas itu hanyalah sebuah ilusi. Banyak hal lain dalam hidup ini yang lebih penting daripada sekadar mengejar gaji, status pekerjaan yang lebih tinggi, atau rencana masa pensiun yang indah.
  Salomo menulis:
  "Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih
  payah? Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-
  anak manusia untuk melelahkan dirinya. Ia membuat segala sesuatu
  indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati
  mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang
  dilakukan Allah dari awal sampai akhir. Aku tahu bahwa untuk mereka
  tak ada yang lebih baik daripada bersuka-suka dan menikmati
  kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan,
  minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga
  adalah pemberian Allah." (Pengkhotbah 3:9-13)
Apa inti dari ayat-ayat tersebut? Untuk satu hal, sekalipun Allah memberikan kekekalan dalam hati kita (ayat 11), kita akan mengalami kemandegan dari waktu ke waktu dalam aktivitas hidup. Hal ini dapat membawa kita pada keputusasaan. Sebaliknya, kepuasan dialami oleh mereka yang menaruh kepercayaannya pada kontrol kuasa Allah dan hidup bertanggung jawab. Penulis kitab Pengkhotbah tidak menganjurkan sikap "apa yang terjadi terjadilah," pesimistis dan pasrah yang pasif dalam menghadapi hidup. Kita tidak hanya sekadar menghabiskan waktu. Lagipula, kita perlu menyadari bahwa kepuasan dalam pekerjaan merupakan "pemberian Allah". Seseorang yang hidup bagi Tuhan tahu bahwa sekalipun hidup ini jauh dari kesempurnaan, Allah turut berpartisipasi aktif dalam pekerjaan kita. Dan, jika kita percaya pada-Nya, Dia akan memberikan kepuasan sampai hal sekecil apa pun dalam hidup kita.
  Apakah kita tidak sedang mengelabui diri sendiri?
  
  Jika Anda seperti saya, Anda mungkin tidak menyadari bahwa Anda
  mengharapkan pekerjaan yang dapat memberikan kebahagiaan.
  Berdasarkan hasil survei di Amerika tentang hal terpenting dalam
  hidup, 40% responden mengatakan bahwa mereka menghargai hubungan
  dengan Allah di atas segala-galanya. Sebaliknya, secara mencolok,
  hanya 5% yang mengatakan bahwa hal terpenting dalam hidup adalah
  memiliki pekerjaan yang mereka nikmati sepenuhnya. Beberapa pengamat
  membanggakan hasil survei tersebut sebagai indikasi bahwa orang
  Amerika ternyata tidak begitu materialistis dan lebih religius
  daripada dugaan mereka selama ini.
Namun saya mempertanyakan keakuratan hasil survei tersebut. Siapa yang dalam benaknya pernah berkata bahwa pekerjaan lebih penting dari Allah? Saya tahu bahwa saya tidak akan pernah melakukannya. Namun apa yang sesungguhnya dinyatakan oleh tindakan saya dan Anda tentang hal terpenting dalam hidup? Tidakkah kita cenderung hanya memberikan kata-kata manis pada Allah sementara kita hidup untuk ilah lain -- berharap lebih dari pekerjaan kita daripada apa yang layak kita terima?
Pikirkanlah tentang sikap Anda. Kapan Anda merasa bahagia? Apa yang menguasai pikiran Anda? Apa tujuan hidup yang terpenting bagi Anda?
  Apakah saya workaholic?
  
  Seorang workaholic, tak ubahnya seperti alkoholik, tidak mudah
  menangkap masalah yang sebenarnya. Biasanya ia menyangkal bahwa ia
  memiliki masalah. Seorang workaholic berpikir bahwa ia memiliki
  kontrol atas pekerjaannya. "Saya dapat berhenti dari pekerjaan saya
  setiap saat," pikirnya. Namun dalam kenyataan, ia dikendalikan oleh
  pekerjaannya. Ia dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh lebih
  banyak uang, menambah kekuasaan, memperoleh pujian dari pimpinan dan
  rekan kerja, atau keinginan untuk tak terkalahkan oleh siapa pun.
Kitab Amsal memberitahu kita, "Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini" (23:4). Jika kita gagal melakukannya, kita akan "terbakar" -- lalu, untuk apa semua itu? Penulis kitab Pengkhotbah mengingatkan bahwa hidup itu singkat, kekayaan akan segera berlalu, dan persekutuan pribadi dengan Allah dan sesama itu lebih penting dari segala konsep tentang kesuksesan.
  Apa alternatif yang lebih bijak?
  
  Kita perlu melihat nilai dari pekerjaan yang dipercayakan Allah
  kepada kita, dan menjaga agar hidup tetap seimbang. Kita harus
  melihat bahwa pekerjaan hanyalah salah satu dari banyak hal penting
  dalam hidup kita. Jangan mendewakan pekerjaan, tetapi jangan pula
  mengabaikannya. Bekerja merupakan suatu kebutuhan dan dasar agar
  kita dapat bertahan serta menjalani hidup sesuai dengan rencana
  Allah. Bekerja memberi kesempatan pada kita untuk menunaikan
  panggilan hidup dalam mengasihi Allah dan sesama (Matius 22:37-40).
  Apakah kita bekerja untuk memenuhi kebutuhan?
  
  Jika kita terbelit dalam pekerjaan, kita mungkin akan lupa bahwa
  pada akhirnya Tuhanlah yang memenuhi kebutuhan kita. Semua itu
  bukanlah usaha kita. Kerja keras tidak selalu memberikan kesuksesan
  yang sama. Pada kenyataannya, sekalipun ada tempat untuk bekerja
  keras, hanya Tuhanlah satu-satunya yang memberkati segala usaha kita
  (Amsal 10:4-5,26; Ulangan 6:10-12).
Dalam Matius 6, Yesus berkata kepada para pengikutnya agar tidak khawatir akan apa yang hendak dimakan atau diminum, tetapi carilah kerajaan Allah terlebih dahulu; maka Allah akan mencukupi segala kebutuhan mereka. Terlalu sering kita menempatkannya secara terbalik. Kita mengejar hal-hal duniawi terlebih dulu, berpikir bahwa kita adalah tuan atas hidup kita, dan satu-satunya pemberi nafkah atas apa yang kita butuhkan agar dapat tetap hidup. Dan, sekalipun kita bersyukur atas pemeliharaan Allah pada waktu makan, tetapi sangatlah mudah bagi kita untuk mengambil alih rasa percaya itu.
Hal ini tidak berarti bahwa kita hanya duduk saja dan menunggu Allah mengirimkan apa yang kita butuhkan ke pangkuan kita. Allah menginginkan kita bekerja. Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Tesalonika bahwa siapa yang tidak mau bekerja, janganlah diberi makan. Paulus menggambarkan sikapnya terhadap pekerjaan sebagai berikut:
"Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapa pun di antara kamu. Bukan karena kami tidak berhak untuk itu, melainkan karena kami mau menjadikan diri kami teladan bagi kamu, supaya kamu ikuti. Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2Tesalonika 3:7-10)
  Segi apa dalam hidup kita yang memerlukan perhatian?
  
  Jika kita menghindar untuk memberi perhatian lebih atau sedikit pada
  pekerjaan, kita perlu memperhatikan unsur lain dalam hidup yang
  layak mendapat perhatian. Dalam buku "Your Work Matters to God"
  (NavPress), Doug Sherman dan William Hendricks menyebut lima hal
  dalam hidup yang memerlukan perhatian kita. Mereka menggunakan
  analogi suatu peristiwa olahraga yang dikenal dengan nama
  pancalomba. Syarat agar seorang atlet berhasil, ia harus betul-betul
  menguasai olahraga lari, renang, berkuda, menembak, dan anggar.
  Lawannya tidak akan berhasil bila hanya memusatkan perhatian pada
  satu bidang dan mengabaikan yang lain atau sama sekali meremehkan
  semuanya. Demikian pula dengan kita. Kita harus mencurahkan tenaga
  pada kelima dasar segi kehidupan bila ingin berhasil hidup menurut
  kehendak Allah. Kelima bidang tersebut adalah: 1) Kehidupan pribadi
  kita; 2) Keluarga kita; 3) Kehidupan bergereja kita; 4) Pekerjaan
  kita; 5) Kehidupan bermasyarakat kita.
  Bagaimana kita dapat menjaga agar semua bidang kehidupan ini tetap
  seimbang?
  
  Sherman dan Hendricks juga menawarkan strategi untuk mengatur
  pekerjaan tetap berada dalam perspektif yang benar:
- "Mengatur kehidupan doa seperti dalam pancalomba". Hal ini menolong kita untuk tetap sadar akan kelima bidang tersebut dan meminta pertolongan Allah agar kita dapat menjaganya tetap seimbang.
- "Menentukan berapa banyak waktu yang akan digunakan untuk bekerja". Kita harus mengatur batas waktu dalam bekerja agar energi kita tidak terkuras habis.
- "Menentukan waktu pulang ke rumah". Pekerjaan cenderung menyita waktu melebihi batas yang telah kita tetapkan.
- "Mengatur jadwal untuk hal-hal di luar pekerjaan kita. Dalam agenda, kita perlu menambahkan jadwal waktu untuk keluarga, gereja, pelayanan, terlibat dalam aktivitas masyarakat, dan rencana pribadi".
- "Mengendalikan keterlibatan perasaan. Allah tidak pernah memaksudkan pekerjaan menjadi perbudakan psikologis".
- "Mengatur Sabat". Kita perlu mengatur waktu khusus dalam satu minggu (sehari atau jam-jam khusus setiap harinya) agar kita dapat beristirahat, berefleksi dan menempatkan kehidupan dalam perspektif yang benar.
- "Memperkuat perhatian dan komitmen di luar pekerjaan".
- "Berhati-hati terhadap sikap: lebik baik menonton daripada melakukannya. Ada bahaya nyata dari sikap menghindari kesenangan, yakni kita tidak lebih dari sekadar penonton".
Pikirkan lebih lanjut mengapa Anda bekerja, apakah Anda telah memberi perhatian pada kelima bidang dalam kehidupan tersebut? Apakah Anda menganggap diri sebagai seorang workaholic? seorang yang seimbang dalam segala hal? atau seorang yang memerlukan lebih banyak usaha untuk menghadapi hidup?
- Log in to post comments