Kesembuhan Emosional: Menapaki Prosesnya

"Yesus dekat dengan yang patah hati, dan menyelamatkan mereka yang hancur dalam roh." (Mazmur 34:18, AYT)

Saat Yesus berjalan di bumi, langkah-Nya selalu tertuju kepada mereka yang hancur hatinya. Dengan hati yang penuh belas kasihan, Dia mendekati mereka yang terluka, kesepian, ditolak, dan merasa remuk. Mengapa demikian? Mungkin kita tergoda mengira itu sekadar naluri kepahlawanan -- dorongan untuk memperbaiki keadaan -- dan memang, Dia melakukannya dengan sempurna. Namun saya percaya, alasan Yesus melayani mereka yang patah hati jauh melampaui agenda pelayanan semata. Dia melayani karena kasih-Nya. Karena Dia sungguh mencintai mereka yang hatinya remuk.

Yesus, dengan kerelaan-Nya sendiri, memilih membangun hubungan dengan mereka yang berani menjalani hidup yang tak mudah ini dengan hati yang jujur dan terbuka. Di tanah hati yang seperti itu -- jujur dan siap dibuka -- Tuhan menumbuhkan keajaiban: mengubah abu menjadi keindahan. Bagi Yesus, pelayanan kepada hati bukan sekadar tugas. Itu adalah bagian dari siapa Dia sebenarnya -- inti dari sifat dan karakter-Nya yang sejati.

Saya pun memiliki kisah pribadi tentang kesembuhan emosional. Dalam perjalanan hidup saya, ada kehilangan yang datang tanpa diduga, tragedi yang mengguncang, kekecewaan yang mendalam, dan musim-musim panjang penuh rasa sakit serta proses pemulihan. Namun saya tidak melihat semua itu sebagai alasan untuk merasa tidak utuh atau tidak layak dipakai Tuhan. Justru saya percaya bahwa luka-luka itu telah membentuk celah-celah di hati saya -- tempat-tempat kosong yang kini menjadi wadah bagi aliran air Roh Kudus, selama saya mau menyerahkannya kepada Tuhan dan membuka diri untuk disembuhkan.

Gambar: gambar

Kisah hidup saya berseru tentang kuasa kesembuhan dari Yesus -- tentang penebusan yang Dia nyatakan secara nyata ke dalam bagian-bagian hidup saya yang retak. Saya sungguh percaya bahwa kuasa yang sama tersedia bagi siapa pun yang rindu hatinya dipulihkan oleh-Nya.

Sejak kehadiran-Nya di bumi, Yesus telah menjadikan hati manusia sebagai fokus pelayanan-Nya -- dan Dia masih melakukannya sampai hari ini. Bagi saya, merupakan sukacita tersendiri bisa mengikuti jejak-Nya dan ambil bagian dalam pelayanan yang menjamah hati orang-orang. Yang akan Anda baca di halaman berikut bukanlah formula baku atau metode tetap, melainkan secercah kesaksian nyata -- pengalaman pribadi yang saya jalani bersama Tuhan, lengkap dengan pelajaran dan wawasan yang saya temukan di sepanjang jalan.

Doa saya, saat Anda membaca kisah ini, Anda bisa menemukan bagian diri Anda di dalamnya. Semoga kisah ini membawa Anda kepada pengalaman kesembuhan yang lebih dalam, dan membekali Anda dengan alat-alat praktis untuk bermitra dengan Yesus dalam pelayanan yang penuh kasih ini.

Kehormatan

Dia duduk di depan saya; tegak dan tenang. Saya bertanya kepadanya apa yang ingin dia doakan. Saya kemudian Dia duduk di hadapan saya -- tenang, tegak, tampak kuat. Saya menanyakan apa yang ingin dia doakan. Tak lama kemudian, wajah dan tubuhnya mulai berubah. Dia mulai bercerita tentang trauma yang dialaminya setahun lalu -- luka batin yang masih mencengkeram erat hingga hari ini. Seiring kisahnya mengalir, ketenangan yang semula tampak perlahan runtuh. Kepalanya tertunduk, tubuhnya mulai bergetar, dan akhirnya dia menangis -- bukan hanya karena luka, tapi karena kelelahan menahannya begitu lama. Saat itu, seperti biasa, saya mendekat… dan hal pertama yang saya lakukan adalah memberinya kehormatan.

Bagi saya, kehormatan adalah mahkota dari pelayanan kesembuhan emosional (Yoh. 8:11). Kita semua adalah hasil dari kisah hidup yang rumit -- benang-benang pengalaman yang saling terjalin membentuk isi hati kita. Orang-orang yang bergumul dengan luka batin biasanya telah menempuh jalan panjang dengan keberanian yang luar biasa, meski mereka sendiri sering tidak menyadarinya. Mereka lebih sering melihat diri sebagai korban, bukan pejuang.

Namun kebenarannya adalah: sebelum seseorang bisa mengalami kesembuhan, mereka perlu tahu bahwa mereka memiliki kekuatan untuk sembuh. Dan tugas kita sebagai pelayan Tuhan adalah menolong mereka melihat kekuatan itu -- menghormati mereka bukan karena sudah selesai dari proses, tapi karena mereka tetap berdiri meski terluka. Kita menghormati mereka sebagai pemenang dalam kisah mereka sendiri.

Salah satu pandangan keliru yang kerap muncul tentang penyembuhan hati adalah anggapan bahwa mereka yang patah hati adalah pribadi lemah -- tak berdaya, penuh kebutuhan, bahkan apatis. Namun kenyataannya jauh dari itu. Bagi saya, justru mereka yang patah hatilah para pahlawan sejati di dunia ini. Mereka memilih untuk terus hidup, melangkah maju, meski membawa luka batin yang nyata dan dalam. Dibutuhkan keberanian besar untuk tetap berdiri saat hati terasa runtuh. Kita sering kali mengabaikan kekuatan dalam keberadaan mereka -- padahal di balik setiap napas yang mereka ambil, tersimpan keteguhan yang luar biasa. Kita seharusnya tidak mengasihani mereka, tetapi belajar dari mereka. Mereka bukan korban dari kisah hidup -- mereka adalah pejuang. Mereka adalah pemenang.

Kejujuran

"Saya menghormati Anda karena berani membagikan ini kepada saya hari ini," ucap saya sambil menatap matanya. "Saya tahu, butuh keberanian besar untuk menghadapi semua ini, dan saya ingin Anda tahu -- saya melihat kekuatan luar biasa dalam diri Anda." Kata-kata kehormatan itu, seperti kunci, membuka pintu hatinya lebih lebar. Dia mulai bercerita dengan kejujuran yang dalam tentang pergumulannya selama setahun memimpin pelayanan, sambil bergulat dengan kehancuran pribadinya yang belum tersentuh penyembuhan.

Apa yang terjadi di dalam hati seseorang akan memengaruhi seluruh kehidupannya (Amsal 4:23). Ketika hati sedang sakit; terluka, kacau, atau penuh ketakutan, rasa sakit itu mengalir ke seluruh aspek hidupnya. Dia mengubah cara seseorang melihat dunia, merasakan hubungan, dan menjalani keseharian. Luka yang tidak disentuh atau dibiarkan begitu saja tidak akan hilang dengan sendirinya. Justru, luka itu bisa menjadi sumber kerusakan yang tersembunyi, dan lambat laun menimbulkan dampak yang nyata secara emosi, relasi, bahkan rohani.

Saya percaya penting sekali untuk menghentikan stigma dan rasa malu yang sering mengelilingi pergumulan emosional, mental, maupun rohani, terutama di kalangan para pemimpin pelayanan. Kita sering lupa bahwa Yesus, meski sepenuhnya Allah, juga sepenuhnya manusia. Dia memilih untuk merasakan kelemahan kita, untuk benar-benar memahami kondisi manusiawi kita (Ibrani 4:15).

Jika Yesus sendiri rela menyamakan diri-Nya dengan kelemahan kita, mengapa kita begitu takut untuk mengakuinya? Apakah dengan menyembunyikan rasa tidak aman, kita menjadi lebih layak atau lebih rohani? Tidak. Sama sekali tidak. Justru Yesus sangat menghargai hati yang jujur dan rendah hati (Lukas 8:15), hati yang tidak pura-pura kuat, tapi berani mengakui ketergantungan pada-Nya. Kebebasan sejati muncul saat kejujuran dipilih dengan keberanian. Dan semakin dalam seseorang berani jujur, semakin dalam pula kebebasan yang bisa dia alami.

Pengampunan

Saat wanita itu mulai terbuka dan bercerita dengan jujur, saya mencatat beberapa luka dan perlakuan menyakitkan yang pernah dialaminya. Setelah dia selesai berbicara, saya bertanya dengan lembut, "Apakah Anda bersedia mengampuni orang-orang yang telah menyakiti Anda?" Saya menjelaskan bahwa mengampuni bukan berarti apa yang terjadi tidak penting. Justru sebaliknya, hal itu berarti menyerahkan hak untuk menghakimi kepada Yesus, Sang Hakim yang adil. Saya menuntunnya dalam doa pengampunan. Dia memilih untuk melangkah, dengan keberanian yang tenang, dan mengampuni. Saya tahu saat itu juga bahwa kebebasan mulai bekerja di dalam dirinya -- ketika dia mulai merasakan belas kasihan terhadap orang-orang yang dulu melukainya.


Pengampunan bukan hanya soal melepaskan orang lain, tetapi juga membebaskan diri sendiri dari beban yang mengikat jiwa.
 

Bagi mereka yang memelihara kepahitan, pengampunan adalah jalan menuju kelegaan yang sejati. Pengampunan bukan hanya soal melepaskan orang lain, tetapi juga membebaskan diri sendiri dari beban yang mengikat jiwa. Namun, langkah ini menuntut keberanian untuk maju, dan keberanian itu melibatkan kerelaan untuk menyerahkan tuntutan akan keadilan yang timbul dari rasa sakit ke dalam tangan Allah. Proses ini seperti melipat kain kafan atas luka yang lama, menguburkannya, dan melepaskan keinginan untuk memiliki masa lalu yang berbeda. Ini bukan proses yang mudah, tapi inilah jalan menuju damai yang sejati.

Kebebasan yang lahir dari pengampunan sungguh menakjubkan. Banyak orang tidak menyadari bahwa saat mereka menyimpan kepahitan, sesungguhnya merekalah yang terus menanggung luka, bukan pelaku yang telah lama pergi (Matius 18:34). Mereka menjalani hidup seperti di atas ranjang penuh jarum, padahal ada ranjang kedamaian yang telah Yesus sediakan, hanya sejauh satu langkah pengampunan. Jika luka dari masa lalu terus terasa segar dan menyakitkan, itu bisa menjadi sinyal bahwa masih ada bagian hati yang belum dilepaskan melalui pengampunan.

Mengajak seseorang untuk mengampuni bukanlah hal sepele, hal itu adalah kehormatan dan hak istimewa kita sebagai pelayan Tuhan. Kita tidak sedang meremehkan rasa sakit mereka. Sebaliknya, kita sedang meninggikan harga mahal yang telah Yesus bayar di salib. Darah-Nya cukup kuat bukan hanya untuk menebus masa depan, tapi juga untuk menebus masa lalu yang penuh luka. Dan inilah sukacita yang kita bawa saat melayani, kabar baik bahwa ada jalan keluar, ada kelegaan, dan ada pemulihan melalui kuasa pengampunan.

Pemberdayaan

"Apakah Anda ingin menyerahkan rasa sakit emosional yang Anda bawa hari ini kepada Yesus?" tanya saya dengan lembut. Saya memperhatikan bagaimana dia diam sejenak, terlihat tengah memproses pertanyaan itu dengan serius. Saat itulah saya sadar, jawabannya tidak sesederhana kelihatannya. Ada keraguan, mungkin juga rasa takut. Maka saya menambahkan, lebih pelan kali ini, "Bagaimana kalau kita bertanya langsung kepada Yesus? 'Yesus, apakah aku akan aman jika aku memberikan rasa sakit ini kepada-Mu hari ini?'"

Pernahkah kita bertanya, mengapa Yesus bertanya kepada orang lumpuh selama 38 tahun, "Maukah engkau sembuh?" (Yohanes 5:6). Bagi sebagian orang, pertanyaan itu terdengar aneh. Bukankah jawabannya sudah jelas? Namun Yesus tahu bahwa kesembuhan tidak datang tanpa harga. Ada sesuatu yang harus dilepaskan: bagian-bagian dari kepribadian kita yang terbentuk sebagai respons terhadap luka, pola-pola perlindungan diri yang selama ini kita andalkan, bahkan rasa nyaman dengan cara hidup yang kita kenal meski penuh penderitaan.

Memang, hati yang bebas jauh lebih berharga daripada apa pun yang mungkin dikorbankan dalam prosesnya. Tapi tetap saja, kesembuhan adalah pilihan. Dan hanya orang yang menerima pelayanan itulah yang bisa membuat keputusan itu, karena merekalah yang akan menjalani hasilnya setiap hari.

Hati tidak akan benar-benar disembuhkan jika tidak dilibatkan secara jujur dan otentik dalam prosesnya. Seseorang bisa saja berkata, "Saya sudah baik-baik saja," sepanjang hari. Namun bila di dalam hati mereka masih ada penolakan terhadap perubahan, mereka akan pulang dari pelayanan tanpa mengalami perbedaan, bahkan mungkin merasa lebih frustrasi. Itu sebabnya, mengejar keutuhan bukan soal mempercepat proses, melainkan melayani dengan kesabaran, kelembutan, dan kasih. Kita ingin memastikan bahwa seluruh pribadi -- bukan hanya pikirannya, tetapi juga hatinya -- siap untuk bergerak maju dalam perjalanan penyembuhan yang sesungguhnya.

Rasa sakit emosional memiliki sifat yang berbeda dari rasa sakit fisik. Salah satu perbedaan paling mendasar adalah bahwa luka emosional sering kali lahir dari kebutuhan yang belum terpenuhi -- kerinduan akan pengakuan, kasih, penerimaan, atau rasa aman. Ini bukan sekadar respons terhadap perlakuan buruk yang bisa "dibuang" begitu saja. Kadang, rasa sakit itu hadir untuk melindungi hati yang rapuh. Dia menjadi suara yang mewakili kebutuhan terdalam jiwa, atau bahkan menjadi benteng pertahanan yang menjaga kita dari rasa takut yang lebih besar.

Karena itulah, rasa sakit emosional tidak bisa langsung ditepis. Ia perlu divalidasi, dihormati, didengarkan. Namun kabar baiknya: Yesus menawarkan perlindungan yang jauh lebih dalam dan lebih aman daripada rasa sakit itu sendiri. Banyak orang tidak akan merasa siap untuk sembuh sebelum mereka terlebih dahulu diyakinkan bahwa hati mereka aman -- bahwa ada tempat perlindungan yang lebih kuat daripada luka yang selama ini mereka andalkan. Dan tempat itu ada di dalam pelukan kasih Tuhan.

Keyakinan

"Saya rasa saya tidak bisa melakukannya sekarang… melepaskan rasa sakit ini…" ujar wanita itu dengan nada putus asa. Saya menatapnya dengan penuh pengharapan. "Tidak apa-apa," jawab saya. "Mari kita mulai dari hal yang pertama dulu." Saya pun mulai membimbingnya untuk membangun kembali hubungannya dengan Yesus -- memperkuat rasa aman di hadirat-Nya, dan membuka kembali pengalaman akan kasih-Nya. Saya mengajaknya untuk bertanya kepada Tuhan, "Yesus, bagaimana Engkau melihat saya? Adakah kebohongan yang saya percayai tentang Engkau?"

Salah satu aspek favorit saya dalam pelayanan doa penyembuhan adalah membantu seseorang memperkuat hubungan mereka dengan Tuhan. Satu kata dari Tuhan mampu menjawab ribuan kebutuhan hati. Karena itulah saya kerap meluangkan waktu dalam sesi pelayanan untuk membangun keintiman antara seseorang dan Tuhan, sebab saya tahu bahwa ketika hubungan itu terjalin, Yesus sendiri yang akan memenuhi kebutuhan mereka secara langsung.

Tujuan saya dalam pelayanan ini adalah membawa orang ke tempat di mana mereka dapat menerima kasih Tuhan secara mendalam. Dari titik itu, saya hanya perlu menyaksikan Yesus bekerja. Begitu seseorang terhubung dengan kasih Tuhan, hatinya merasa aman, dan lapisan-lapisan rasa sakit emosional pun mulai terlepas dengan sendirinya -- tanpa perlawanan, hanya karena kasih yang lebih besar telah mengambil alih tempatnya.

Melihat dan mendekonstruksi penghalang-penghalang dalam hubungan seseorang dengan Yesus merupakan sebuah seni sekaligus keterampilan -- sebuah bagian penting dari pelayanan pendamaian hati manusia dengan Allah (2 Korintus 5:18). Sebagian hambatan itu disadari secara sadar, tetapi tidak sedikit yang tersembunyi di balik ketidaksadaran. Banyak orang menjalani kehidupan rohani mereka dengan hubungan yang terasa jauh, dangkal, atau terpecah-pecah dengan Tuhan, tanpa pernah benar-benar berhenti untuk bertanya: mengapa keintiman itu tidak hidup?

Kabar baiknya adalah bahwa pertanyaan "mengapa" tidak perlu dibiarkan menggantung. Ketika dibawa kepada Roh Kudus, pertanyaan itu akan dijawab. Roh Kudus mengenal baik pikiran sadar maupun bawah sadar kita, dan Dia sangat bersedia menyingkapkan apa saja yang menghalangi hati kita untuk mengalami keintiman dengan Yesus secara utuh.

Pertukaran

Pada akhirnya, wanita yang duduk di hadapan saya mulai melepaskan kebohongan-kebohongan yang selama ini dia percayai tentang Yesus -- kebohongan yang terbentuk di tengah penderitaan dan rasa kehilangan. Dia menyerahkan keyakinan bahwa Yesus tidak hadir, bahwa Dia tidak peduli, bahwa Dia jauh dan tak terlibat. Setelah itu, dia pun bertanya kepada Roh Kudus, "Apakah kebenarannya?" Dan kebenaran dari Tuhan pun mengalir masuk ke dalam hatinya -- seperti ledakan kasih yang menembus kedalaman luka-lukanya dan mulai menggantikan rasa sakit dengan kehadiran kasih yang nyata. Momen itu sungguh menggetarkan untuk disaksikan.

Saya kemudian bertanya, "Apakah sekarang Anda sudah siap untuk menyerahkan rasa sakit Anda kepada Yesus?" Dia mengangguk, "Ya." Maka saya mengundangnya untuk berdoa, "Tuhan Yesus, aku serahkan rasa sakit ini kepada-Mu. Apa yang Engkau berikan kepadaku sebagai gantinya?"

Tuhan merancang hati manusia untuk senantiasa berada dalam keadaan penuh. Ketika seseorang melepaskan sesuatu -- seperti rasa sakit emosional -- akan muncul kebutuhan untuk mengisi ruang yang ditinggalkan oleh rasa sakit tersebut. Lebih dari itu, sering kali rasa sakit yang dilepaskan merupakan kebalikan langsung dari karunia yang sebenarnya telah Tuhan sediakan bagi ruang itu. Inilah yang disebut sebagai pertukaran ilahi -- momen transformasi sejati dalam proses kesembuhan hati (Yesaya 61:1-3).

Sebagai contoh, ketika seseorang menyerahkan kebohongan bahwa suaranya tidak berarti, saya percaya bahwa Tuhan justru telah memanggilnya untuk menjadi suara yang membawa pengaruh dalam lingkup tertentu. Ketika seseorang melepaskan rasa takut akan hubungan pertemanan, saya kerap bertanya-tanya apakah mereka dipanggil secara khusus untuk membangun dan memelihara komunitas. Tidak jarang, individu yang bergumul dengan ketakutan justru memiliki panggilan ilahi yang menuntut keberanian luar biasa.

Musuh sangat strategis dalam menabur gangguan dan luka emosional di wilayah-wilayah hidup yang seharusnya menjadi ladang panggilan kita. Oleh sebab itu, dalam pelayanan, bukan hanya menjadi sukacita melihat kesembuhan terjadi, tetapi juga merupakan kehormatan untuk menyaksikan hati seseorang menemukan kembali tempatnya yang sejati -- rumahnya -- melalui pertukaran ilahi yang dikerjakan oleh kasih karunia Tuhan.

Sembuh!

Tiba-tiba, kuasa Tuhan memenuhi ruangan, dan saya menyaksikan sebuah transformasi terjadi di hadapan mata saya. Wanita itu, yang sebelumnya dipenuhi oleh ketakutan akibat pengalaman traumatisnya, kini mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Dia berkata bahwa untuk pertama kalinya, dia merasakan Tuhan memanggilnya sebagai seekor singa betina yang diciptakan untuk mengaum. Keberanian dan keteguhan hati mulai memenuhi dirinya melalui hadirat Roh Kudus. Saya pun menubuatkan atas hidupnya, dan kami berdua tersungkur dalam doa yang penuh dengan rasa syukur dan ketulusan. Kemudian dia menatap ke atas dan berkata, "Rasa sakitnya sudah hilang." Air mata sukacita pun mengalir. Dia telah disembuhkan.

Andai saja kita dapat merontgen jiwa, dampak dari momen-momen kesembuhan emosional seperti ini akan tampak begitu luar biasa. Tidak ada yang kecil dalam tindakan Tuhan ketika Dia membalut hati yang remuk dan melepaskan orang-orang yang terbelenggu. Itu adalah karya yang ajaib -- sering kali melampaui apa yang mungkin dijelaskan oleh dunia medis atau psikologi. Bahkan secara fisik, Anda sering dapat melihat perubahan pada postur tubuh, raut wajah, ekspresi mata, dan sikap seseorang setelah mengalami kesembuhan seperti ini. Namun inti dari segalanya tidak terjadi di permukaan, melainkan jauh di dalam hati dan jiwa. Kesaksian mereka menjadi bukti nyata bahwa Yesus telah melakukan apa yang hanya dapat dilakukan oleh-Nya -- menyembuhkan hati manusia dari dalam.

Kesembuhan emosional merupakan bagian tak terpisahkan dari detak jantung Injil Yesus Kristus. Di tengah dunia yang penuh dengan penderitaan emosional dan pergumulan mental, masih begitu banyak jiwa yang belum mendengar bahwa kebebasan itu mungkin -- bahwa kesembuhan itu tersedia. Saya percaya bahwa sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk membawa kabar baik ini: bahwa Yesus menyembuhkan hati yang hancur.

Namun lebih dari itu, saya juga percaya bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk bersikap jujur terhadap kondisi hati kita sendiri. Dibutuhkan kerendahan hati dan keberanian untuk menjadi rentan -- di hadapan Tuhan maupun sesama -- agar kita pun dapat menerima pelayanan kesembuhan ketika dibutuhkan. Mazmur 34:18 mengingatkan kita, "Yesus dekat dengan yang patah hati, dan menyelamatkan mereka yang hancur dalam roh." Maka, marilah kita memilih untuk semakin mendekat kepada-Nya.

(t/Jing-jing)

Diambil dari:

Nama situs

:

Global Awakening

Alamat artikel

:

https://globalawakening.com/emotional-healing-a-walk-through-the-process/

Judul asli artikel

:

Emotional Healing: A Walk Through the ProcessEmotional Healing: A Walk Through the ProcessEmotional Healing: A Walk Through the Process

Penulis artikel

:

Katie Luse, Global Awakening

Jenis Bahan C3I
Kategori Bahan C3I